Maslahah
Dalam Ekonomi Islam
Pendahuluan
Takaran maslahah
tidak didasarkan pada penilaian akal manusia yang bersifat relatif-subyektif dan dibatasi
ruang dan waktu tetapi harus sesuai petunjuk syara’ yang mencakup kepentingan
dunia dan akherat. Serta tidak terbatas pada rasa enak atau tidak enak dalam
artian fisik tetapi juga dalam artian mental-spiritual.
Pada
dasarnya tujuan hidup setiap manusia adalah untuk mencapai kesejahteraan,
meskipun manusia memaknai ‘kesejahteraan’ dengan prespektif yang berbeda-beda.
Sebagian
besar paham ekonomi (konvensional) memaknai kesejahteraan sebagai kesejahteraan
material duniawi. Dengan alasan reaktualisasi dan reinterpretasi mereka
mengaburkan ajaran-ajaran syariat yang sebenarnya sudah jelas dan tidak perlu diperdebatkan. Menurut al-Ghozali
maslahah adalah: “memelihara tujuan daripada syari’at”, sedangkan tujuan syara’
meliputi lima dasar pokok, atau biasa yang disebut dengan“Maqashid Syari’ah”yaitu:
1. melindungi agama (hifdu al diin), 2. melindungi jiwa (hifdu al
nafs), 3. melindungi akal (hifdu al aql), 4. melindungi kelestarian
manusia (hifdu al nasl), 5. melindungi harta benda (hifdu al mal).[1]
Karena
pada dasarnya, syariat diberlakukan untuk menjaga kemaslahatan umat manusia.
Intinya menurut mereka semua syariat yang tidak menjamin kemaslahatan umat
manusia harus dirubah.
Defini Masalah
Secara bahasa, Kata
maslahah (المصلحة)
sendiri adalah masdar (kata benda) dari kata sholaha (صلح) yang memiliki arti faedah, kepentingan, kemanfaatan dan
kemaslahatan atau maslahah sama dengan manfaah baik dipandang dari sisi wazan
atau artinya.[2]
Telah
disebutkan dalam kamus Bahasa Indonesia bahwa Mashlahah adalah semua
yang mendatangkan kebaikan atau manfaat.[3]
Dan
juga maslahah menurut beberapa pandangan sebagai berikut:
Secara
etimologis, al-maslahah dapat berarti kebaikan, kebermanfaatan,
kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata al-maslahah
adakalanya dilawankan dengan kata al-mafsadah dan adakalanya dilawankan dengan
kata al-madarrah, yang mengandung arti: kerusakan.[4]
Secara
terminologis, maslahah telah diberi muatan makna oleh beberapa
ulama ushûl al-fiqh Al-Gazâli (w. 505
H), misalnya, mengatakan bahwa makna asli dari maslahah adalah
menarik/mewujudkan kemanfaatan atau menyingkirkan/menghindari
kemudaratan (jalb al-manfa’ah atau daf’al madarrah) Menurut al-Gazâli, yang dimaksud maslahah, dalam arti
terminologis-syar‟i, adalah memelihara dan
mewujudkan tujuan hukum Islam (Syariah) yang berupa memelihara agama,
jiwa, akal budi, keturunan, dan harta kekayaan. Ditegaskan oleh al-Gazâli bahwa
setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi salah satu dari
kelima hal tersebut dikualifikasi sebagai maslahah; sebaliknya, setiap
sesuatu yang dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut
dinilai sebagai al-mafsadah; maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu
yang dapat mengganggu dan merusak salah satu dari kelima hal tersebut
dikualifikasi sebagai maslahah.[5]
Pengertian
ini bertentangan dengan pengertian sebagaian filosof. Menurut mereka, maslahah
adalah sebuah manfaat untuk menuju kenikmatan, atau menolak bahaya di dunia
semata. Sebab, segala sesuatu di muka bumi ini baik berupa kebajikan atau
kejehatan tergantung pada kesepakatan bersama umat manusia. Karena memandang
manusia sebagai subjek yang bisa menentukan standar nilai perbuatan mereka
(baik/jelek). Epicurus[6]
mengatakan: “maslahah itu bersifat relatif dan subjektif, tergantung
individu seseorang, tanpa memandang dampak yang ditimbulkan”. Pola pikir
seperti ini berpengaruh kuat pada masyarakat Eropa, sehingga melahirkan ide-ide
seperti: HAM, persamaan hak, dan lain-lain. Mereka berasumsi bahwa akal manusia
tidak perlu lagi sesuatu yang lain (agama) dalam menentukan maslahah.[7]
Maslahah Dalam
Islam
Seperti yang
telah disinggung sebelumnya, bahwa kata kunci dari Maqashid Syari’ah
adalah maslahah. Tawaran yang sangat menghentak dan “kontradiktif”
dengan arus main-stream adalah apa yang digagas oleh at-Tufi mengenai teori Maslahat.
At-Tufi membangun pemikirannya tentang maslahat tersebut, yaitu :
Akal
mempunyai kebebasan menentukan maslahat dan kemafsadatan, khususnya dalam
lapangan mu’amalah dan adat. Untuk menentukan suatu maslahat atau kemafsadatan
dalam wilayah mu’amalat cukup dengan akal. Sebagai kelanjutan dari poin pertama
tersebut, at-Tufi berpendapat bahwa maslahat merupakan dalil syar’i mandiri
yang kehujjahannya tidak tergantung pada konfirmasi nas, tetapi hanya
tergantung pada akal semata. Dengan demikian, maslahat merupakan dalil mandiri
dalam menetapkan hukum.[8]
Maslahat
hanya berlaku dalam lapangan mu’amalah dan adat kebiasaan, sedangkan dalam
bidang ibadat (mahdah) dan ukuran-ukuran yang ditetapkan syara’, tidak
termasuk objek maslahat, karena masalah-masalah tersebut merupakan hak Allah
semata. Maslahat merupakan dalil syara’ paling kuat. Oleh sebab itu, at-Tufi
juga menyatakan apabila nas dan ijma’ bertentangan dengan maslahat, didahulukan
maslahat dengan cara pengkhususan (takhsis) dan perincian (bayan)
nas tersebut.
Maslahah Dalam Ekonomi
Islam
Perkembangan
lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syariah mengalami kemajuan yang sangat
pesat baik di panggung internasional maupun di Indonesia. Lembaga-lembaga itu
antara lain asuransi, sukuk, pegadaian,
mortgage, leasing dan multifinance, capital market, mutual fund, factoring, MLM
(Multi Level Marketing), dsb.
Contoh-contoh
penerapan maslahah pada kasus ekonomi dan bisnis kontemporer, antara lain[9]:
Pendirian
Bank Islam
Pendirian
Asuransi/Reasuransi Syariah dan LKS lainnya
Penerapan
revenue sharing dalam bagi hasil
Penerapan
Dinar dan Dirham
Kartu
Kredit tanpa bunga
Intervensi
Harga oleh Pemerintah pada saat distorsi pasar
Larangan
Ihtikar dan monopoli
Larangan
kartel dalam perdagangan
Larangan
spekulasi, judi dan gharar
Larangan
tas’ir (penetapan harga oleh pemerintah )
Larangan
siyasah ighraq (dumping)
Larangan
future trading, options dan swaps
Pendirian
lembaga Pengadilan Niaga syariah
Adanya
DPS di LKS dan DSN di MUI
Dan
lain-lain
Prinsip
utama dalam formulasi ekonomi Islam dan perumusan fatwa-fatwa serta produk
keuangan adalah maslahah. Penempatan
maslahah sebagai prinsip utama, karena mashlahah merupakan konsep yang paling
penting dalam syariah, Dalam studi prinsip ekonomi Islam, maslahah ditempatkan
pada posisi kedua, yaitu sesudah prinsip
tawhid (Agustiano, 2010). Mashlahah adalah tujuan syariah Islam dan
menjadi inti utama syariah Islam itu sendiri. Para ulama merumuskan maqashid
syari’ah (tujuan syariah) adalah mewujudkan kemaslahatan.
Imam
Al-Juwaini, Al-Ghazali, Asy-Syatibi, Ath-Thufi dan sejumlah ilmuwan Islam
terkemuka, telah sepakat tentang hal itu. Dengan demikian, sangat tepat dan
proporsional apabila maslahah ditempatkan sebagai prinsip kedua dalam ekonomi
Islam.[10]
Penerapan
maslahah dalam ekonomi Islam (muamalah) memiliki ruang lingkup yang
lebih luas dibanding ibadah. Ajaran Islam tentang muamalah umumnya bersifat
global, karena itu ruang ijtihad untuk bergerak lebih luas. Ekonomi Islam yang
menjadi salah satu bidang muamalah berbeda dengan ibadah murni (ibadah
mahdhah). Ibadah bersifat dogmatik (ta`abbudi), sehingga sedikit
sekali ruang untuk berijtihad. Ruang ijtihad dalam bidang ibadah sangat sempit.
Lain halnya dengan ekonomi Islam (muamalah) yang cukup terbuka bagi inovasi dan
kreasi baru dalam membangun dan mengembangkan ekonomi Islam. Oleh karena itu
prinsip maslahah dalam bidang muamalah menjadi acuan dan patokan penting.
Apalagi bila menyangkut kebijakan-kebijakan ekonomi yang oleh Baqir Shadr
dikategorikan sebagai manthiqah al firagh al tasyri`y (area yang kosong
dari tasyri`/hukum). Sedikitnya nash-nash yang menyinggung masalah yang terkait
dengan kebijakan-kebijakan ekonomi teknis, membuka peluang yang besar untuk
mengembangkan ijtihad dengan prinsip maslahah.[11]
Kemaslahatan
dalam bidang muamalah dapat ditemukan oleh akal / pemikiran manusia melalui
ijtihad. Misalnya, akal manusia dapat mengetahui bahwa curang dan menipu dalam
kegiatan bisnis adalah perilaku tercela. Demikian pula praktik riba. Para
filosof Yunani yang hidup di zaman
klasik, bisa menemukan dengan pemikirannya bahwa riba adalah perbuatan tak
bermoral yang harus dihindari.
Al mashlahah
sebagai salah satu model pendekatan dalam ijtihad menjadi sangat vital dalam
pengembangan ekonomi Islam dan siyasah iqtishadiyah (kebijakan ekonomi).
Mashlahah adalah tujuan yang ingin diwujudkan oleh syariat. Mashlahah
merupakan esensi dari kebijakan-kebijakan syariah (siyasah syar`iyyah)
dalam merespon dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Maslahah `ammah
(kemaslahatan umum) merupakan landasan muamalah, yaitu kemaslahatan yang
dibingkai secara syar’i, bukan semata-mata profit motive dan material
rentability sebagaimana dalam ekonomi konvensional.
Dengan
demikian, pengembangan ekonomi Islam dalam menghadapi perubahan dan kemajuan
sains teknologi yang pesat haruslah
didasarkan kepada maslahah. Jadi, untuk mengembangkan ekonomi Islam, para
ekonom muslim cukup dengan berpegang kepada maslahah. Karena maslahah adalah
saripati dari syari’ah. Para ulama menyatakan ”di mana ada maslahah, maka di situ ada syari’ah Allah ”. Artinya, segala
sesuatu yang mengandung kemaslahatan, maka di itulah syari’ah Allah. Dengan demikian maslahah
adalah konsep paling utama dalam syariat Islam.[12]
Apabila
kemaslahatan dalam ekonomi mungkin dan dapat dijangkau dan ditemukan oleh akal
dan pemikiran manusia, sedangkan dalam ibadah umumnya sulit dijangkau pemikiran
manusia, seperti mengapa shalat fardhu hanya lima kali sehari semalam, mengapa
shalat subuh dua rakaat, mengapa shalat isya 4 rakaat, mengapa hajar aswad
sunnah dicium dan banyak contoh lainnya. Seandainya tidak ada nash dan Nabi
Muhammad menjelaskan, niscaya manusia tidak bisa menjangkau dan menemukannya.
Para ulama hanya bisa mereka-reka
hikmahnya, yang bentuknya bukan elaborasi prinsip maslahah, tetapi berupa hikmah dan falsafah tasyri’ belaka.
Sedangkan
dalam bidang muamalah, manusia dapat
menemukan maslahah suatu syariah. Misalnya, mengapa Ibnu Taimiyah membenarkan
intervensi harga oleh pemerintah, padahal Nabi Saw tidak melakukanya. Mengapa
Umar mengimpor gandum dari Mesir ketika terjadi kelangkaan gandum di Mesir,
mengapa dalam transaksi ekonomi harus ada saksi yang adil, mengapa riba,
gharar, spekulasi, penipuan, kecurangan, maysir
dilarang dan mengapa bagi hasil ditawarkan dan banyak contoh lainnya.
Muamalat
adalah aturan syari’ah tentang hubungan sosial di antara manusia. Dalam
muamalat, dijelaskan secara luas illat, rahasia dan tujuan kemaslahatan suatu
hukum muamalat. Ini mengandung indikasi agar manusia memperhatikan kemaslahatan
dalam bidang muamalat dan tidak hanya berpegang pada tuntutan teks nash semata,
karena mungkin suatu teks ditetapkan berdasarkan kemaslahatan tertentu,
kondisi, adat, waktu dan tempat tertentu. Sehingga ketika maslahah berubah maka
berubah pula ketentuan muamalah (perekonomian).[13]
Dengan
pertimbangan maslahah, regulasi perekonomian bisa berubah dari teks nash
kepada konteks nash yang mengandung maslahah. Misalnya, Nabi Muhammad
Saw tidak mau mencampuri persoalan harga di Madinah, ketika para sahabat
mendesaknya untuk menurunkan harga. Tetapi ketika kondisi berubah di mana
distorsi harga terjadi di pasar, Ibnu Taimiyah mengajarkan bahwa pemerintah
boleh campur tangan dalam masalah harga. Secara tekstual, Ibnu Taymiyah
kelihatannya melanggar nash hadits Nabi Saw. Tetapi karena pertimbangan
kemaslahatan, di mana situasi berbeda dengan masa Nabi, maka Ibnu Taymiyah
memahami hadits tersebut secara kontekstual berdasarkan pertimbangan maslahah.
Kehadiran
lembaga-lembaga perbankan dan keuangan syari’ah juga didasarkan kepada
maslahah. Inovasi zakat produktif dan waqaf tunai juga didasarkan kepada
maslahah. Pendeknya semua aktivitas dan perilaku dalam perekonomian acuannya
adalah maslahah. Jika di dalamnya ada kemaslahatan, maka hal itu dibenarkan dan
dianjurkan oleh syari’ah. Sebaliknya jika di sana ada kemudratan dan mafsadah,
maka prakteknya tidak dibenarkan, seperti ihtikar , spekulasi valas dan saham,
gharar, judi, dumping, dan segala bisnis yang mengandung riba. Demikian pula dalam membicarakan perilaku
konsumen dalam kaitannya dengan utility. Dalam ekonomi konvensional, tujuan
konsumen adalah untuk memaksimalkan utility, sedangkan dalam ekonomi Islam untuk
memaksikumkan maslahah. Utility adalah sebuah konsep yang kepuasaan
(manfaatnya) bersifat material dan keduniaan belaka, sedangkan maslahah adalah
utility yang mengandung unsur-unsur
akhirat, bersifat spiritual dan transendental.[14]
[1] Ibn Ahmad Taqiyah.”Masadiru al Tasyri’ al-Iislamy”.(Lebanon:
muasisu al kitab al tsaqofiyah. 1999)., hlm. 138
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2002, h. 23
[4] Lihat Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukarram ibn Manzûr al-Ifrîqi, Lisân
al-‘Arab, (Riyad: Dâr„Âlam al-Kutub, 1424 H/2003 M), Juz ke-2, h. 348.
[5] Abû Hâmid Muhammad al-Gazâli, al-Mustasfa min‘Ilm al - Usûl,
tahqîq wa ta„lîq, Muhammad Sulaimân al-Asyqar, (Beirut: Mu‟assasat al-Risâlah, 1417 H/1997
M), Juz ke-1, h. 416 - 417.
[6] Epicurus (341 SM.-271 M.) filosof Yunani, kemudian pemikiran ini
diadopsi oleh filosof modern, seperti Thomas Hobbes (1588-1679 M.)
[7] Seperti halnya pendapat Zenon (270-342) filosof Yunani, ia hidup
satu masa dengan Epicurus kemudian teori ini dikembangkan oleh filosof modern
termasuk Immanuel Kant (1724-1804 M.)
[8] Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi,
Jakarta: Rajawali Press, 1996, h. 57
[9] Di ambil dari: http://esharianomics.com/esharianomics/fikih-hukum/ushul-fikih/contoh-contoh-penerapan-maslahah/
Terima kasih, artikelnya sangat membantu :D
BalasHapus